Celi
mengancam Debi, akan menuntut ke Pengadilan dengan tuntutan penipuan, bila
Debi tidak mau menandatangani perjanjian pengakuan hutang dengan jaminan
rumahnya di Jalan Jaksa No. 12.
Perjanjian
tersebut tidak mengandung unsur paksaan, yang memaksa Debi untuk
menandatangani perjanjian pengakuan hutang. Meskipun terdapat kata
mengancam, namun mengancam disini bukanlah berarti suatu ancaman
kekerasan atau paksaan fisik ataupun psikis.
Pada dasarnya yang diancamkan haruslah perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang untuk dilakukan, seperti menodongkan pistol ( acaman fisik
) atau mengancam akan membuka rahasia ( ancaman psikis ). Akan tetapi
ancaman untuk melakukan penuntutan ke Pengadilan bukanlah suatu ancaman
yang dilarang oleh undang-undang. Seseorang berhak melakukan tuntutan
ke Pengadilan, dikarenakan dia merasa dirugikan oleh orang lain. Ancaman
Celi kepada Debi tidak bisa dikatakan sebagai suatu ancaman paksaan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1324 KUH Per. Karena memang
merupakan suatu kewajiban bagi Debi untuk menandatangani surat perjanjian
pengakuan hutang apabila Debi meminjam uang kepada Celi. Jadi, perjanjian
disini merupakan perjanjian yang sah, karena tidak adanya unsur paksaan.
A
mengancam B akan membuka rahasia perselingkuhannya jika tidak mau
menandatangani perjanjian jual beli dari salah satu rumah B yang
diinginkan oleh A.
Perjanjian
tersebut didasari atas adanya suatu paksaan atau ancaman secara psikis
yang dilakukan oleh A kepada B dengan cara menakut-nakuti, sehingga B
terpaksa menyetujui perjanjian tersebut ( Pasal 1324 KUH Per ).
Dikarenakan alasan adanya suatu ancaman / paksaan itu maka perjanjian
tersebut dianggap tidak sah. Dan akibat hukumnya adalah perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar